Kecupan Rindu




            Matahari baru saja bersiap keluar dari peraduannya. Sisa embun semalam masih tampak disela-sela dedaunan, sadar bahwa dirinya sebentar lagi akan lenyap. Kabut tebal pun masih bertereng manis di puncak gunung, bahkan sesekali tertiup angin membawanya turun menyelimuti rumah-rumah penduduk di kaki gunung. Hawa dingin pun tak dapat disangkal oleh siapa saja yang masih bernafas di pagi itu. Tak lama berselang, pengeras suara dari surau di tengah kampung terdengar sibuk dibunyikan. Lantunan adzan yang begitu merdu pun berkumandang memuji kebesaran Allah, menjadi pemecah keheningan pagi yang begitu tulus. Menyemarakkan semacam peringatan bahwa tak lama lagi bumi akan terang. Suara lantang sang mu’adzin terus bergema, terbawa angin pagi memasuki rumah-rumah penduduk. Menyelinap ke dalam telinga setiap insan yang masih bernyawa. Merangsang otak untuk mengumpulkan kesadaran dan segera memerintahkan mata untuk terbuka. Menyadarkan setiap insan yang mendengar lantunan pujian kepada Sang Maha Pemilik Segalanya, bahwa subuh telah tiba dan malam akan segera berakhir.
            Sebuah rumah kecil bercat putih di sudut kampung, tampak pada satu sisinya sudah terang benderang sejak dua jam yang lalu, sebelum segala hiruk pikuk pertanda pagi datang. Rumah kecil yang dipenuhi bermacam bunga di halaman depannya, juga dikelilingi pagar kayu yang tampak lapuk setinggi pinggang orang dewasa. Rumah berukuran kecil yang tak pernah sepi dari suara penghuninya.
            “Kahla, bangun nak ayo sudah subuh.” Suara parau dan berat namun diucapkan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang bergema di ruang sempit itu. Sementara tangan kanan si pemilik suara membelai lembut rambut anak gadisnya yang terlelap di meja belajar. Namun, gadis yang dibangunkannya tetap mendengkur pada posisinya, tetap terjaga dalam tidurnya. Lelaki paruh baya itu tak menyerah, digenggamnya tangan anak gadisnya yang kecil dan hangat. Lalu, kecupan penuh cinta didaratkannya di atas dahi lebar anak kesayangannya itu. Sontak, mata gadis dihadapannya mengerjap-erjap sayu dan segera terbuka. Ia telah berhasil membangunkan putri kesayangannya.
            “Sudah subuh, nak. Ayo sholat dulu.” Ucap si lelaki paruh baya.
            “Ayah...” Ujar gadis bernama Kahla sedikit merengek. Dipeluknya lelaki bertubuh kurus dihadapannya sembari meneteskan air mata.
            “Kenapa nak, kok tiba-tiba nangis? Apa karena ayah? Maaf ayah sudah mengganggu tidurmu. Tapi ini kan...”
            “Nggaak, bukan Yah...” Seru Kahla tiba-tiba memotong kalimat ayahnya.
            “Lah, terus kenapa? Bangun-bangun langsung nangis?.” Ucap ayah mulai khawatir.
            Tak ada jawaban. Yang terdengar selanjutnya hanyalah tangis Kahla yang pecah dan semakin besar. Hal itu membuat ayah semakin bingung dan hanya bisa memeluk untuk menenangkannya. Tak ada larangan disana. Tak ada kata yang terucap dari ayah yang melarang Kahla untuk berhenti menangis, mengingat pagi masih begitu sunyi. Yang beliau tau, hanya terus membiarkan putrinya itu melampiaskan segala keluh kesahnya disana. Dipelukannya.
            Tujuh menit berlalu dan suara tangis itu menjadi kecil hingga tak terdengar lagi. Kahla yang telah puas menangis pun segera membuka mulutnya. Mengutarakan segala kekhawatirannya.
            “Ayah, aku takut gagal. Aku takut nggak bisa lolos tes masuk perguruan tinggi favoritku.” Ucapnya tersendat tangis yang masih tersisa.
            “Ada apa denganmu, Kahla? Kenapa anak ayah begitu pesimis? Ayah kan tidak pernah mengajarimu mengeluh dan takut yang seperti itu.” Suara ayah menjadi tegas dan jelas terdengar.
“Sainganku sangat banyak, Yah. Dari segala penjuru Indonesia. Terakhir aku lihat passion grade untuk masuk di Imperial College London, naik 10 persen dari yang tadinya 30 persen, sekarang sudah 40 persen.” Jelas Kahla sambil menahan air mata di pelupuk matanya yang hampir keluar lagi.
            “Coba dengar ini. Berawal dari mimpi, dimulai dengan tekad dan kerja keras, disempurnakan oleh doa dan rasa syukur, maka mimpimu akan jadi kenyataan. Bermimpi sudah kamu lakukan. Tekad dan kerja keras juga sudah kamu lakukan. Sekarang segalanya tinggal serahkan pada Allah. Sang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tawakal. Jika semua syarat dari kesuksesan itu sudah kamu lakukan, untuk apa kamu takut dan khawatir dengan manusia yang pada dasarnya sama denganmu? Yakin, Allah pasti akan mengabulkan doa dan ikhtiarmu. Kalau seandainya semua keinginan itu tidak tercapai, sudah pasti ada hal lain yang lebih indah yang telah Allah siapkan untukmu.” Ujar Ayah panjang lebar sambil mengusap air mata yang diam-diam menetes lagi di pipi putrinya.
            “Oiya, bukannya kamu juga ingin sekali pergi ke... ke... aduh Ayah lupa namanya..” Lanjut ayah sambil mengacungkan jari telunjuknya tepat di pelipis kanannya. Wajahnya dibuat sedemikian rupa agar terlihat sangat kebingungan.
            “Big Bang, Ayah.” Ujar Kahla menjawab kebingungan ayahnya. Tampak senyum sumringah tersungging di wajah polosnya.
            “Ha, tepat sekali. Ayah punya permintaan yang wajib kamu penuhi. Yaitu, kirimi ayah foto kamu yang dibelakangnya berdiri si Big Bang itu. Pokoknya permintaan ini bersifat perintah.” Ucap ayah menirukan suara Sinchan, tokok kartun favorit Kahla.
            “Hahaha. Oke Ayah, siap..” Tawa Kahla pun lepas melihat tingkah ayahnya itu. Kemudian dipeluknya ayah dengan begitu erat. Dirasakannya energi positif yang mengalir dari tubuh ayah. Menghilangkan semua kekhawatirannya.
***
            Matahari telah tampak begitu bahagia di atas sana. Ia bersinar begitu leluasa tanpa terhalang sekumpulan kristal es di atmosfer bumi. Hari yang terik ini tak menyudutkan semangat penduduk bumi untuk beraktivitas memenuhi hasratnya. Semua tampak tetap sibuk dengan urusan dunianya masing-masing. Tak terkecuali Kahla. Gadis berusia 22 tahun yang terlihat dewasa dan mandiri. Begitu kata sebagian kawan-kawan dekatnya. Ia pun dengan senang hati menerima opini kawan-kawannya itu, meski tak ada yang tau bahwa ia masih begitu lemah dihadapan ayahnya. Tapi kekuatan dan dukungan selalu datang dari sosok pahlawannya itu. Mungkin itu yang membuatnya terlihat kuat diluar sana.
            “Semangat untuk wawancara hari ini. Pokoknya pertanyaan dari penanya, harus dijawab dengan jawaban yang tegas dan konsisten. Siap?” Kata-kata penyemangat kembali berkoar dari bibir Ayah.
            “Siap, komandan.” Ucap Kahla sambil menyalimi tangan Ayah dan bergegas masuk ruang ujian. Sempat ia menoleh ke belakang, namun Ayah terlihat bergegas pergi mengendarai motornya.
“Sepertinya ada urusan mendadak. Good luck, Ayah”. Gumam Kahla dalam hati dan mengalihkan perhatiannya pada tes wawancara yang sedang dihadapinya.
Tes wawancara berlangsung dengan lancar selama kurang lebih dua jam. Pengumuman hasil tes wawancara nantinya akan diumumkan dalam sepuluh hari. Kahla melangkah gontai namun wajahnya tampak begitu ceria. Disapanya setiap orang yang ia temui di jalan. Tes wawancara yang baru saja ia lakukan, berhasil dilaluinya dengan mudah. Semua itu karena persiapan matang yang telah ia siapkan selama berbulan-bulan. Tak ayal, tentunya juga karena semangat dan dukungan dari ayah.
Langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Satu pesan baru dari Tania, sahabat kecil yang sangat dekat dengannya. Pesan itu berisi ajakan makan siang di salah satu Cafe yang baru saja dibuka yang terletak di pinggir kota. “Jauh juga lokasinya”. Gumam Kahla dalam hati, namun ia tetap mengiyakan ajakan Tania mengingat pertemuan terakhir mereka yang sudah cukup lama.
            Jam menunjukkan pukul 5 sore. Sebuah motor matic berwarna biru melaju menyusuri jalanan sempit menuju sebuah rumah di kaki gunung. Motor itu tampak ditunggangi dua gadis muda yang bahagia. Motor matic itu terus melaju hingga sampai disebuah persimpangan jalan yang ditutup.
            “Ada apa ini Kah? Nggak bisa lewat ya?” tanya Tania pada sahabatnya di kursi penumpang.
            “Nggak tau. Tadi pagi masih bisa dilewati kok. Ya udah kalau gitu sampai sini saja. Lagi pula rumahku tinggal belok ke kiri, dapat deh.” Jawab Kahla sembari turun dari motor dan hendak pamit pada Tania.
            “Eh nggak bisa. Pokoknya aku harus antar sampai ke rumahmu. Lagian udah lama juga aku nggak ketemu sama orang tuamu.” Ujar Tania dan segera memarkirkan motor.
            Mereka pun berjalan kaki beberapa meter menuju rumah Kahla. Namun tepat setelah melewati sebuah belokan, terpampang dihadapan mereka orang yang begitu banyak yang menatap dengan begitu tajam ke arah mereka berdua. Namun entah, mereka tak dapat mengartikan tatapan itu. Kahla yang sedari tadi terlihat begitu bahagia, tiba-tiba tubuhnya terasa dingin. Jantungnya berdegup kencang dan kedua kakinya terasa bergetar. Gadis dengan langkah gontai itu tiba-tiba melesat begitu cepat. Menabrak siapa saja yang menghalangi jalannya. Memasuki ruang utama dari rumah kecilnya yang kini begitu sempit dikarenakan orang yang begitu banyak. Ada seseorang disana. Berada di tempat yang berbeda dari orang-orang yang ada disekitarnya. Seseorang yang terbaring kaku di atas ranjang. Tepat disisi ranjang itu, dilihatnya ibu dan kedua adiknya sedang menangis haru tak henti. Ibu melihatnya dan memanggilnya untuk ikut duduk di tepi ranjang. Tapi kakinya seakan tak bisa digerakkan. Matanya tak sanggup untuk berkedip. Bibirnya tak mampu berucap kata apapun. Hingga akhirnya ia jatuh, dan segalanya menjadi gelap.
***
            Kahla sedang menulis. Seperti biasa ia selalu rutin menulis di jam yang sama setiap hari. Dulu, setiap malam sebelum tidur ia selalu menyetel alarm di ponsel agar membangunkannya di jam 3 pagi. Namun kini, ia tak perlu alarm. Matanya dan kesadarannya telah terbiasa bangun di jam 3 pagi.
            Dan malam ini, masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Setelah lelah menulis selama satu jam, ia kembali terlelap di meja belajarnya. Namun sebenarnya banyak hal yang telah berubah. Lebih banyak dari kesamaan yang secara rutin dilakukannya itu. Di dalam tidurnya yang lelap, ia merasa ada tangan yang begitu lembut menggenggam kedua tangannya. Ada kecupan yang begitu penuh cinta di dahinya yang lebar. Tiba-tiba kedua matanya terbuka. Tak ada genggaman tangan maupun kecupan di dahi. Yang ia rasakan hanyalah kedua pipi yang begitu basah dan mata yang begitu sembap.
            “Aku habis nangis ya? Tangis di dalam mimpi?” tanya Kahla pada dirinya sendiri. Disentuhnya kedua pipi menggunakan tangan lembutnya, menghapus air mata yang mengalir tanpa sebab. Namun, air mata itu semakin deras. Terus dan terus mengalir. Sekuat tenaga ia berusaha menahan air di pelupuk matanya, tapi selalu menetes tanpa henti. Tak terbendung lagi, tangis beserta suaranya yang khas dilepaskannya begitu leluasa. Membiarkan semuanya keluar, segala sedih, beban, dan juga rindu.
            “Ayah, aku rindu..” Ucapnya disela tangis.
            “Maafkan aku yang selalu banyak mengeluh. Maafkan aku yang membiarkanmu memikirkan urusanku. Maafkan aku yang selalu lemah di depanmu. Maafkan aku yang selalu nyaman dipelukanmu. Maafkan aku yang telah menyita banyak waktumu untukku, tapi aku sedikit pun tak pernah mau tau apa urusanmu. Maafkan aku yang tak pernah bertanya, apa kau perlu bantuan?. Maafkan aku yang tak bisa memberi pelukan hangat disaat kau sedang dalam kesulitan. Seperti yang selalu kau lakukan padaku.” Tangis Kahla terus mengalir, hingga ponsel nya mengumandangkan suara adzan penanda waktu subuh.
            Tangis ia hentikan. Kedua matanya menyusuri sekitar ruangan kamar yang ia tempati kini. Kamar yang kini tak sempit dan redup lagi. Meja belajarnya yang lebih luas dari meja belajar yang dulu ia miliki. Dilihatnya tumpukan buku yang tersusun rapi yang bisa ia baca kapan saja. Hingga matanya berhenti pada sebuah foto yang ia pajang di sudut meja belajar. Foto dirinya yang berdiri begitu anggun, seanggun menara Big Bang yang berdiri kokoh dibelakangnya.
            “Ayah, ini janji yang telah kupenuhi. Mimpi yang menjadi nyata. Semoga kesuksesan ini bisa membuat ayah bahagia disana. Maafkan aku, yang masih sering menangis.”

Comments

  1. Saya Rizki Meilida dari Jurusan Bahasa Inggris Universitas Harapan Medan. Saya sedang mengerjakan tugas quantitative research methodology. Kebetulan tema yang saya pilih sama dengan artikel anda. Jika berkenan saya ingin berdiskusi dengan anda, adapun e-mail saya ichimeidavip@gmail.com. Saya harap respon baik dari anda. Terima kasih

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Makalah Kaidah Bahasa Indonesia

Kurangnya Pendidikan Moral di Sekolah

Lack Of Moral Education In School