REFRAIN


Jum’at, 24 Juli 2009. Sekitar jam 9 malam.

Malam itu, saya yang biasanya tidur di kamar Eva, seorang perempuan yang sebaya dengan saya, tiba-tiba disuruh si pemilik rumah untuk tidur di kamar miliknya. Saya yang pada saat itu sudah didominasi rasa kantuk, hanya menuruti perintah tersebut tanpa mempertanyakan apapun. Karena sudah sekitar 1 bulan tinggal di rumah itu, saya tak pernah sebelumnya masuk ke kamar si pemilik rumah. Sekali masuk langsung bisa merasakan tidur di atas tempat tidurnya.

Tapi saya hanya seorang diri di kamar itu. Si pemilik rumah beserta suaminya entah mereka tidur dimana. Mungkin di kamar lain, pikir saya saat itu. Begitu pun adik saya, Afi, yang tak disuruh tidur di kamar itu. Hmm, mungkin dia tetap tidur menemani bapak yang sedang sakit, pikirku lagi saat itu.
Kamar itu tak begitu besar, terasa lebih sempit dengan ukuran tempat tidur yang cukup besar. Penuh dengan lemari dan barang. Kamar itu terlihat begitu nyaman dengan suhu ruangan yang standar. Saya pun mencoba menikmati tidur dengan harapan mimpi indah di kamar itu. 

Berusaha memejamkan mata, membolak-balikkan badan ke kiri dan ke kanan, berusaha mendapatkan posisi yang nyaman agar bisa segera terlelap. Namun, semua usaha itu sia-sia. Saya yang sebelum memasuki kamar itu sudah diliputi rasa kantuk, seketika kantuk itu lenyap. Masih terus berusaha mencari posisi untuk menidurkan diri sendiri, saya tetiba melirik jam dinding yang terletak di sisi kiri tempat tidur. Sudah pukul 02.30. Tengah malam. Tapi sulit sekali mendatangkan kantuk. Hingga mungkin beberapa waktu kemudian, rasa kantuk itu baru berkenan hadir dan saya pun terlelap. 

Tidur yang sangat singkat. Tapi subuh terlewat. 

Saat akhirnya terbangun, jam sudah menunjukkan pukul 06.30. Saya pun bergegas lompat dari tempat tidur, mencari handuk, dan langsung menuju kamar mandi. Pikiranku hanya dipenuhi dengan hukuman yang siap saya dapat jika terlambat datang ke sekolah. Saat itu sekolah saya di MTs Negeri Model Sorong yang letaknya dekat dengan pasar sentral Sorong. Sedangkan rumah yang sedang saya tempati itu terletak di sebrang, di sebuah pulau bernama Doom.

Usai mandi dan berpakaian lengkap, saya pun masuk ke kamar tempat bapak tidur untuk salim dan pamit ke sekolah bersama Afi. Semua begitu cepat dan terburu-buru. Andai waktu bisa diulang, saya akan memutuskan untuk tidak ke sekolah hari itu.

Tiba di sekolah ternyata bersamaan dengan bunyi bel sekolah, perasaan lega pun datang bersyukur karena tidak jadi terlambat. Saya pun melangkah santai menuju kelas IX D.

Sesampainya di kelas, saya mengikuti rutinitas kelas seperti biasanya. Memulai dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an lalu dilanjutkan dengan pelajaran di jam pertama. Disaat menulis ini, saya sudah lupa apa pelajaran di hari itu. Yang saya ingat hanya momen saat masuk kelas hingga jam 08.30. Sepanjang pelajaran, saya mencium aroma tak asing yang sering saya hirup.* Hingga menjelang 08.30, saya meminta izin untuk ke WC ditemani seorang teman bernama Inda Puji Lestari.
Sepanjang perjalanan menuju WC, kami melewati beberapa kelas dan ruang guru sambil sesekali kami tertawa karena guyonan sendiri. Balik dari WC kami melewati jalan yang sama, karena hanya itu satu-satunya, melewati kelas IX H, dan ruang guru.. Tapii, tiba-tiba di depan ruang guru, si kepala sekolah, Alm. Pak Kaim Seknun mencegat kami berdua. Beliau bertanya kepada kami, “Siapa yang nama Eka?”. Tentu saja saya langsung spontan mengangkat tangan. Beliau lalu merangkul saya dan membawa saya ke dalam ruang guru, sementara Inda mengekor di belakang punggung beliau. “Kamu teman satu kelasnya Eka?” tanya Pak Kepsek pada Inda. Inda pun mengangguk mantap. “Sekarang kamu ke kelas bereskan barang-barangnya Eka, masukkan ke tasnya, dan bawa tasnya kesini.” Perintah pak Kepsek pada Inda dan segera Inda laksanakan. 

Saya bingung dengan apa yang terjadi, tapi entah mulut saya enggan mengajukan pertanyaan. Beberapa guru bertanya seputar keluarga dan kondisi pribadi saya, bahkan sesekali mengungkapkan kalimat-kalimat pujian. Saya hanya senyum-senyum tak mengerti. Karena sesungguhnya itu jarang terjadi di sekolah saya saat itu. Hingga Inda pun datang membawa tas saya, dan ia lalu disuruh kembali seorang diri ke kelas. Tak lama, datang seorang guru dari sekolah sebelah, yaitu MAN Model Sorong.  Saya mengenalnya, kebetulan dia satu suku dengan bapak. Beliau biasa dipanggil Pak Mus. Ok, some of you might know him well

Ternyata kedatangan Pak Mus adalah untuk menjemputku. Terjadilah serah terima antara Kepala MTsN Model Sorong dengan Wakil Kepala MAN Model Sorong. Saya hanya manut. Nurut saja disuruh kesini dan kesitu. Dalam hati sebenarnya bingung bukan kepalang, tapi kekuatan untuk tetap berpikiran positif begitu besar. Dibawalah saya memasuki lingkungan MAN Model Sorong. Yeah, that was my very first time. Perasaan kagum dan takjub dengan sekolah tersebut membuatku terhanyut dan lupa dengan kebingungan yang tadi begitu menyelimuti. FYI, this school was my favorite one

Pak Mus membawa ku berkeliling MAN. Dari satu kelas ke kelas lainnya. Rupanya beliau mencari siswa. Seorang siswa yang tinggal di Pulau Doom. Hingga beliau menemukan seorang siswi suku Bugis. #Dengan penuh permohonan maaf kepada siswi tersebut, saya saat ini benar-benar lupa namanya. Dan untuk kelanjutan cerita ini, siswi tersebut akan saya panggil Kak Ayu.#
Kak Ayu disuruh pula membawa semua barangnya, lalu kami membuntuti Pak Mus menuju ruangannya. Anehnya saya disuruh menunggu di luar, sedangkan Kak Ayu diperbolehkan masuk mengikuti Pak Mus. Dan yang bisa saya lakukan, hanya manut dan menurut. Meski sebenarnya tak mengerti dengan skenario ini. 

Tak lama, Kak Ayu keluar dari ruangan tersebut. Seorang diri. Kak Ayu lalu mengajakku keluar menuju gerbang utama MAN Model Sorong. Setelah berhasil melewati beberapa pertanyaan Pak Satpam, kami berhasil keluar dari sekolah itu. Kak Ayu lalu memberhentikan angkot jalur A, dan kami pun pergi meninggalkan MAN Model Sorong. 

Kak Ayu adalah seorang remaja yang cantik dan sangat ramah. Itu kesan pertama yang kudapat setelah banyak mendengar celotehnya di atas angkot. Bukan hanya celoteh, tapi juga pertanyaan-pertanyaan yang kadang membuatku malas untuk menjawab. Hingga akhirnya kuberanikan diri bertanya pada Kak Ayu “Kita mau kemana ini, kak?”. “Mau pulang ke Doom” jawab Kak Ayu santai. Saya tak melanjutkan pertanyaan, namun menatap wajahnya dengan penuh kepolosan menunjukkan ekspresi kebingungan yang luar biasa. Tapi kembali, Kak Ayu tak menghiraukan dan ia pun mulai mengajakku bercerita lagi. Saya pun hanyut dan mulai lupa tentang kebingungan itu. Beberapa kali dia membuat guyonan hingga membuatku tertawa bahagia.

Tibalah kami di Halte Doom. Turun dari angkot, Kak Ayu membayarkan sekalian ongkos kami berdua. Lalu berjalan mencari taksi laut, perahu johnson untuk menuju pulau Doom. Saya masih ingat betul. Saat itu sedang musim ombak. Angin selatan bertiup kencang membuat lautan bergulung tak menentu. Seolah-olah alam ingin menceritakan sesuatu padaku. 

Di dalam perahu johnson dengan suasana yang begitu menegangkan, Kak Ayu kembali mengajakku bercerita. Saya pun menanggapi, menganggap ini sebagai peralihan dari perasaan khawatir akan ombak. Ia mengajukan pertanyaan yang selalu kuingat sampai saat ini,

“Eka sudah pernah keliling Doom?”.
“Belum pernah, kak.”
“Kalau gitu nanti kak Ayu pulang ke rumah ambil motor terus jemput Eka dan kita jalan-jalan keliling Doom ya.” Jelas Kak Ayu panjang lebar.

Saya pun mantap setuju dengan tawaran itu. Siapa sih yang tak mau diajak jalan-jalan, meskipun cuma sekedar mengitari pulau Doom. Kak Ayu ini rumahnya terletak di RK 5, sedang rumah yang saya tempati itu cukup dekat dari dermaga berada di RK 1. Jadi setibanya di Pulau Doom, Kak Ayu harus naik becak lagi untuk menuju rumahnya, karena letak RK 5 itu sangat jauh dibalik pulau ini. Saya yang tinggal di RK 1 cukup berjalan kaki saja. Tapi karena kami sedari tadi sudah bersama, kak Ayu memintaku untuk ikut bersama becak yang ia naiki. Katanya biar sekalian tau rumah untuk nanti bisa menjemput saya. Dan yang saya lakukan hanyalah manut. Becak berjalan, melawati pasar lalu masuk ke lorong dimana rumah yang saya tempati berada. Namun tiba-tiba Pak Tukang Becak berkata, “Ini jalannya lagi ditutup, mungkin tidak bisa lewat”. Dan memang jalannya sedikit tertutupi oleh sesuatu. Tapi Kak Ayu kemudian menanggapi Pak Tukang Becak, “Kayaknya bisa lewat deh, pak. Coba saja dulu. Nanti kalau dimarahi baru kita balik.” Saya hanya diam mengamati apa yang terjadi. Lalu Pak Tukang Becak kembali bersua. “Ada orang meninggal, tuh ada bendera putih”.

Pikiranku pun melayang menerka-nerka. Siapa yang meninggal? Terlihat dari kejauhan rumah yang kutempati itu begitu banyak orang di depannya. Kucoba lagi menerka. Siapa yah? Bayangan tentang si pemilik rumah atau anggota keluarganya terbesit di pikiranku. Hingga tibalah becak tepat di depan rumah itu. Kulihat orang-orang tersebut sedang mendirikan tenda. Mereka semua terhenti saat kedatanganku. Menunjukkan raut wajah bingung. Dan seketika, saat kulihat tatapan mereka itu, yang sebelumnya tak ada di pikiranku, yang sebelumnya tak masuk dalam terkaanku, tiba-tiba hanya dia yang kuingat. Bapak.

Saya pun melompat turun dari becak, padahal becak itu tak berhenti. Kak Ayu menahanku, dia bertanya “Eka, katanya mau ikut Kak Ayu dulu ke rumah?”. Tapi ia tak kuhiraukan. Dalam hati seolah ingin kuteriaki dirinya. Sudah, Kak. Stop dengan cerita omong kosong itu. Tapi ku tak sanggup. Aku hanya berlari dengan hati yang sangat sangat gusar. Jantung yang berdegup berkali-kali lebih kencang. Pikiran yang kalang kabut tak berarah. Kulewati pintu samping rumah yang menghubungkan ke belakang rumah. Entahlah, padahal mereka telah menungguku di pintu depan. Saat memasuki rumah tersebut, semua orang memandangku. Lalu seorang lelaki yang kukenal sebagai anak dari si pemilih rumah, memanggilku dengan lembut, membisikkanku sesuatu. Sesuatu yang kurasa seperti kiamat menerpaku di hari itu juga. “Bapak sudah tidak ada, nak.”

Bruk.
Aku jatuh tersungkur lemas dan air mata yang tersembunyi sedari tadi mengalir tak berhenti membasahi celana lelaki tersebut.  Aku terus menangis dipangkuannya, tak ingin melihat jasad bapak yang diletakkan di ruang tamu. Lebih tepatnya tak sanggup.

Cukup lama hingga aku berhasil mengumpulkan keberanianku untuk melihat bapak. Beberapa orang menuntunku, dengan seragam sekolah lengkap beserta tas dan kaos kaki yang masih kupakai. Mereka menuntunku ke samping tempat tidur tempat bapak dibaringkan. Ya Allah, bapak... Air mata pun mengalir kembali, deras dan semakin deras. Pa.. biasanya kalau saya nangis gini, pasti bapak orang pertama yang akan diamkan saya. Sekarang kenapa bapak yang diam. Astaghfirullah....

Kutatap wajah bapak dalam-dalam, kucium wajahnya, terlihat cerah dan bibirnya sedikit tertarik menggambarkan senyum. Kucium tangannya, melakukan kontak fisik yang bisa kulakukan untuk terkahir kalinya sambil berusaha membesarkan hati. Berusaha sekuat tenaga untuk ikhlas, meski semua tak semudah yang kubayangkan. Aku tetap berada di sampingnya, hingga dari jauh kudengar dengan jelas suara tangis adik laki-lakiku, Afi, yang begitu keras. Ia datang dengan pakaian seragam lengkap, bersama adik keduaku Rani dan beberapa keluarga lain. Ya Allah, anak kebanggaan bapak, Afi, menangisi kepergianmu, pa....

Hari itu,
Sabtu, 25 Juli 2009.
...

Setelah kepergian bapak, saya sempat khawatir tentang bagaimana nasib saya dan kedua adik saya nanti. Apakah kami akan tinggal di panti asuhan seperti yang sering diceritkan dalam film tentang anak yatim piatu? Apakah kami akan putus sekolah?  Masya Allah, ternyata semua itu tak pernah terjadi. Allah begitu baik. Sangat besar kuasa-Nya. Dia kemudian resmi menjadi pengasuh kami langsung. Dia datangkan orang-orang yang memiliki hati yang luar biasa baik kepada kami. Bahkan hingga saat ini, kami tak pernah kelaparan maupun kekurangan. Terima kasih yang tak terhingga, Ya Allah.

Allahummaghfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayanii shoghiroo.
Aamiin yaa Robbal ‘aalamiin..

Referensi:
*Aroma yang tercium saat berada di kelas saat itu adalah aroma khas bapak saya. Saking dekatnya saya dengan beliau, aroma itu menjadi favorit saya.

Pesan buat teman-teman yang masih diberi nikmat melihat orang tua di dunia hingga saat ini:
Pergunakanlah waktu dengan baik. Berusahalah untuk selalu membuat mereka bahagia dan tenang. Curahkan selalu rasa sayang dan cinta pada mereka, jangan pernah berhenti. Jaga selalu fisik dan hati mereka agar tidak tersakiti. Seperti apapun mereka, tetaplah mereka orang tuamu. Dan kau pun harus siap akan takdir Allah yang pasti terjadi. Karena ajal tak pernah mau menampakkan wujud sebelum tiba waktunya.

Terima kasih sudah membaca.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Kaidah Bahasa Indonesia

Kurangnya Pendidikan Moral di Sekolah

Lack Of Moral Education In School