“OXFORD, I’m Coming!!”
Braakk..
Suara
pintu yang di buka dengan paksa, menarik perhatian beberapa siswa yang berada
di dalam kelas XII Ilmu Alam 3. Terlihat sesosok manusia berdiri dengan tangan
gemetar memegang erat gagang pintu. Ia terlihat sedang mengatur nafasnya yang
memburu. Matanya melotot dan wajahnya terlihat dingin. Namun tiba-tiba bibir
tipisnya membentuk senyum lebar yang memperlihatkan barisan gigi yang tertata
rapi. Membuat kesal teman-teman kelasnya.
“Rani,
kamu apa-apaan sih. Kita semua pada kaget tau,” ujar seorang siswa bernama
Sarma.
Rani
yang tak peduli dengan keributan yang telah ia buat, segera berlari menuju tiga
siswa yang duduk di pojok kelas. Senyum tetap menghiasi wajah bulatnya.
“Teman-teman,
ada kabar bagus yang aku bawa!” ucap Rani girang.
“Sekolah
kita terpilih untuk mengikuti seleksi penerimaan beasiswa Oxford University,” lanjutnya
dengan semangat membara.
“Huffhh,
kirain ada apa,” desah Christy dan langsung menunjukkan sikap malas tau. Kedua
temannya pun mengikuti sikap Christy tersebut.
“Hey,
kenapa kalian lesu? Seharusnya kalian bersemangat dan giat belajar dari
sekarang untuk ikut seleksi itu.” Rani berusaha memberi semangat.
“Ran,
tidak usah mimpi deh. Kita tidak mungkin bisa masuk Oxford. Kemampuan kita
tidak ada. Kamu tau kan, kita jarang memperhatikan saat guru sedang
menjelaskan. Kita jarang mengerjakan tugas. Lagi pula, kita juga harus fokus
untuk ujian nasional yang sudah di depan mata,” jelas Dessy panjang lebar.
“Yang
penting kan ada kemauan. Kita bisa bagi waktu untuk belajar bersama dari
sekarang. Terus…”
“Rani,
kita tidak tertarik ikut seleksi itu. Kalau kamu mau ajak teman, mending ajak
Nisa dan Mey. Mereka pasti mau dan kalian bisa belajar bersama,” ucap Nike
memotong perkataan Rani.
Wajah
Rani mengerut. Dengan berat hati, ia meninggalkan ketiga kawan terdekatnya itu.
Ia bermimpi bisa kuliah bersama mereka di Oxford University. Namun, tak satu
pun dari mereka yang mendukung impiannya itu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
Tidak semua siswa bisa mengikuti seleksi itu. Para siswa harus berlomba
mendaftarkan diri sebelum kehabisan tempat. Rani pun segera mengumpulkan rasa
percaya dirinya dan melangkah pasti menuju ruang guru. Ia harus buktikan kepada
teman-temannya bahwa kemauan bisa merubah mimpi jadi kenyataan.
Setibanya
di ruang guru, ia bertemu Nisa dan Mey di pintu masuk. Mereka hanya melempar
senyum ke arahnya.
“Mereka
pasti baru saja mendaftarkan diri,” gumamnya.
Segera
ia masuk ke dalam ruang guru. Matanya menyusuri isi ruangan mencoba menangkap
wajah seorang guru Matematika, Ibu Mika. Matanya berhenti 40o dari
tempat ia berdiri dan melangkah menuju meja yang di depannya tertulis nama Mika
Hamid, S.Pd., M.Pd.
“Permisi,
Bu!” sapa Rani.
“Iya
ada apa, Nak?” sambut Ibu Mika yang terlihat sedang sibuk mengisi
berkas-berkas. Matanya tetap fokus pada kertas-kertas di depannya.
“Errm,,
saya mau mendaftarkan diri untuk ikut seleksi penerimaan beasiswa Oxford University,
Bu!”
Tangan
Ibu Mika tiba-tiba terhenti. Ia memandang siswi yang berdiri di depannya dengan
serius. Rupanya ia sedang mencoba mengingat nama siswi tersebut.
“Oh,
Rani Dwi Cahyani ya. Siswi kelas XII Ilmu Alam 3?” tanya Ibu Mika.
“Iya
benar, Bu!” jawab Rani sambil tersenyum.
“Begini
Rani. Seleksi ini memang bebas untuk setiap siswa yang mau mendaftar. Tapi
disini hanya tersedia lima tempat dan tinggal satu yang tersisa sekarang. Sayangnya,
ibu sudah memilih Jeni,” kata Ibu Mika yang membuat hati Rani ciut seketika.
Tetapi
senyum kembali terbentuk di wajahnya.
“Baiklah
kalau memang Ibu sudah memilih Jeni. Ini juga salah saya, karena terlambat
mendaftar. Saya permisi dulu, Bu!”
“Maafkan
Ibu ya, Rani.”
Dengan
senyum yang masih tetap menempel di wajahnya, ia keluar dari ruang guru. Ia
mengambil langkah seribu menuju ke tiga sahabatnya. Ia butuh teman untuk
mencurahkan perasaannya saat ini.
Setelah
mendapat energi positif dari nasihat-nasihat yang diberikan ke tiga sahabatnya,
Rani kembali menjalani hari seperti biasa. Hatinya sudah ikhlas untuk menerima
kenyataan bahwa dirinya belum diberi kesempatan oleh Tuhan untuk ikut seleksi
tersebut.
Namun
setelah kejadian itu, semangat belajarnya meningkat drastis. Meskipun tidak
mengikuti seleksi penerimaan beasiswa Oxford University, ia memberanikan diri
belajar bersama siswa-siswi yang mengikuti seleksi tersebut. Guru dan siswa
yang terlibat dalam pembelajaran bersama itu tidak keberatan dengan kehadiran
Rani. Tetapi, sikap tidak suka ditunjukkan oleh teman kelasnya bernama Nisa.
Pandangan Nisa selalu sinis terhadap Rani. Nisa pernah mengirim pesan singkat
kepada Rani. Isiya seperti ini, “Rani, kamu kenapa harus bergabung bersama
kami? Jujur, aku terganggu dengan adanya kamu. Aku terganggu dengan
pertanyaan-pertanyaan kamu pada soal yang sangat mudah sekalipun. Aku harap
kamu mengerti dan tidak bergabung dengan kelompok belajar kami lagi.”
Sedih
Rani menerima pesan yang terlalu jujur dari teman satu kelasnya sendiri.
Padahal ia sebenarnya sangat senang bisa belajar bersama dengan Nisa. Namun, ia
harus menghargai Nisa. Setelah satu bulan lebih belajar bersama mereka dan
mendapatkan ilmu yang tidak sedikit, Rani mengundurkan diri dengan alasan tidak
punya waktu lebih untuk belajar bersama lagi.
Rani
belajar keras. Karena menurut rumor yang beredar, Ujian Nasional tahun 2013
terdiri dari 20 paket. Maka soal setiap siswa di dalam ruangan semuanya
berbeda. Setiap siswa harus menyelamatkan dirinya sendiri. Ia sering
bolak-balik perpustakaan dan ruang guru untuk mencari penjelasan terhadap soal
yang ia tidak mengerti. Di rumah, ia tetap fokus pada pelajaran. Ia membuat
jadwal hal-hal yang akan ia lakukan. Ia menghapus waktu menonton TV dan baca
novel. Untungnya, ia memiliki kakak yang bersedia menemaninya belajar.
Namun,
ke tiga temannya tak berminat melakukan perubahan seperti yang Rani lakukan.
Mereka masih sering nongkrong berlama-lama di Kantin dan keluar rumah pada hari
libur. Rani hanya bisa mendoakan agar hati mereka segera tergerak.
Saat
hari berlangsungnya seleksi penerimaan beasiswa Oxford University tiba, Rani
tak melihat Nisa. Sedangkan teman-teman yang lain sudah bersiap untuk pergi ke
gedung Walikota untuk mengerjakan soal-soal ujian. Tiba-tiba, Ibu Mika
menghampirinya.
“Rani,
kamu bersedia menggantikan Nisa? Mendadak asma Nisa kambuh. Kamu pakai saja
kartu namanya dan tetap isi nama Nisa di lembar jawaban. Tapi kalau nama Nisa
lolos, maka kamu yang berhak untuk ke Oxford,” jelas Ibu Mika
“Tapi
bagaimana dengan Nisa? Apa dia mau posisinya aku gantikan, Bu?”
“Nisa
pasti mau. Yang penting kalian lengkap berjumlah lima orang.”
“Baiklah
Bu, saya bersedia. Tapi jangan sampai ada yang tau kalau saya menggantikan
Nisa. Dia bisa sangat malu nantinya, Bu!”
“Oke.
Itu bisa diatur.”
Rani
sangat bangga bisa berpartisipasi dalam seleksi ini. Meskipun ia datang memakai
nama orang lain.
Usai
mengerjakan soal, Rani dan rombongan menuju rumah sakit untuk menjenguk Nisa. Nisa
yang terlihat lemas, mengucapkan terima kasih atas bantuan Rani. Ia bersikap
sangat ramah pada Rani. Sikapnya itu berlanjut terus hingga di sekolah. Nisa
dan Rani pun terlihat akrab dan sering belajar bersama.
Dua
bulan kemudian, tibalah saat yang sangat dinantikan oleh siswa-siswi yang
mengikuti seleksi penerimaan beasiswa Oxford University. Kepala sekolah dan Ibu
Mika terlihat sedang menuju kelas XII Ilmu Alam 3.
“Baiklah
anak-anak. Bapak sangat bangga pada kalian. Di sekolah kita, ada satu siswa
yang berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Oxford University. Langsung
saja bapak akan membuka amplop yang di dalamnya tertulis nama siswa yang
beruntung tersebut.” Kata Kepala Sekolah.
Hening
yang tercipta saat Kepala Sekolah membuka amplop yang dipegannya. Meski hanya
akan disebutkan satu nama, tetapi seluruh siswa ikut merasa tegang.
“Baik,
di kertas ini tertulis nama Nisa Amelia Pratiwi,”
Seketika
tepuk tangan para siswa bergemuruh memberi isyarat selamat kepada Nisa. Setelah
diminta maju di depan kelas, Nisa pun melangkah dengan bangganya. Wajahnya
datar. Sementara Rani berharap Nisa akan menceritakan hal yang sebenarnya
terjadi, bahwa ia yang telah menggantikan Nisa.
“Errmm,
saya mengucapkan terima kasih. Kepada semua guru yang telah membimbing saya
sehingga saya bisa mengerjakan soal ujian masuk Oxford University dengan baik.
Hingga akhirnya saya berhasil lolos untuk melanjutkan pendidikan di Oxford.
Terima kasih banyak,” kata-kata Nisa yang sungguh mengejutkan.
Sorak
sorai dan tepuk tangan kembali bergemuruh. Semua ikut senang dengan apa yang
berhasil Nisa dapatkan. Namun tidak halnya dengan Rani. Ia tak menyangka Nisa
akan bersikap seperti itu. Tak mampu menahan air mata, ia berlari keluar kelas
tanpa izin menuju Toilet. Ibu Mika berusaha menahannya tapi Rani tak perduli.
Ketiga sahabatnya mengikuti Rani dari belakang.
Di
Toilet, mereka melihat Rani menangis tersedu-sedu. Meski dilontarkan pertanyaan
bertubi-tubi oleh sahabat-sahabatnya itu, Rani tak mau membuka mulut dan terus
menangis. Akhirnya mereka bersedia menunggu hingga suasana hati Rani kembali
membaik.
Rani
menenangkan diri di UKS ditemani sahabat-sahabatnya. Setelah dipaksa, Rani pun
menceritakan kejadian yang membuatnya menangis secara detail. Setelah
mengetahui hal yang sebenarnya, temannya Nike tak mampu menahan emosi dan pergi
mencari Nisa.
“Hey
Nisa, dasar munafik!” teriak Nike saat melihat Nisa. Tangannya bergerak dan
langsung mendarat tajam di pipi Nisa. Karena tak mau memperpanjang masalah,
Nisa melarikan diri.
“Hey
awas kamu, akan ku hajar di kelas!”
“Sudah
Nike biarkan saja. Biar Tuhan yang balas semua,” kata Rani yang tiba-tiba
datang. Sahabat-sahabatnya pun memeluk Rani, memberi semangat padanya.
Setelah
kejadian tersebut, Ibu Mika terus berusaha membujuk Nisa untuk jujur memberikan
hak yang seharusnya milik Rani. Tapi Nisa memberi jawaban mengancam,
“Ini
hak saya, Bu! Nama saya yang tercantum di dalam amplop itu. Nama saya yang
disebutkan. Saya tidak rela Rani atau siapa pun mengganggu apa yang sudah jadi
milik saya. Kalau ibu berani menceritakan yang sebenarnya, saya tidak
tanggung-tanggung akan merobek surat pernyataan diterimanya saya. Biar di
sekolah ini tidak ada siswa yang kuliah di luar negeri.”
Rani
tak lagi dekat dengan Nisa. Ia pun kehilangan semangat belajar yang membara
beberapa saat lalu. Ia mulai melupakan jadwal hal-hal yang harus dilakukannya.
Ia kembali nongkrong di kantin bersama sahabat-sahabatnya. Ia menghabiskan
waktu berjam-jam untuk menonton Televisi. Ia telah mengubur mimpinya untuk
kuliah di Oxford. Ternyata benar kata ke tiga sahabatnya dulu, bahwa mereka
memang tidak punya kemampuan untuk kuliah di Oxford University.
Suatu
hari, saat hari hujan dan jam menunjukkan pukul 16.32. Rani sedang membaca
majalah di kamarnya. Tiba-tiba ibunya datang menyampaikan bahwa seorang teman
datang mencarinya. Dengan malasnya, Rani pergi menemui teman tersebut.
“Nisa?”
tanya Rani kaget.
“Rani,
maaf menggangu waktu mu. Boleh kita bicara sebentar?”
“Iya,
silahkan duduk.”
Rani
memperhatikan Nisa secara seksama. Penampilan Nisa sedikit berbeda dari
biasanya.
“Aku
datang kemari ingin memberikan ini.” Nisa mengulurkan map berisi kertas-kertas
di dalamnya.
“Aku
juga mau minta maaf atas semua sikap ku, Rani. Aku sadar bahwa aku telah
merampas hak mulik mu. Maafkan aku, Rani!” tangis Nisa pecah.
“Tapi
aku sudah ikhlas. Silahkan saja kamu pergi ke Oxford dan saya sudah memaafkan kamu.
Bukannya Oxford adalah impian terbesar mu?” tanya Rani.
“Aku
tidak pernah bermimpi ke Oxford. Itu adalah mimpi ayah ku. Dia selalu menekan
ku untuk bisa dapat beasiswa ke Oxford, atau aku tidak akan pernah kuliah. Jadi
aku rela melakukan apa pun bahkan pengkhianatan demi mencapai mimpi ayah ku
itu,”
“Lalu
mengapa kamu harus datang pada ku menyerahkan ini?”
“Aku
tersadar, Ran. Ayah ku meninggal dua hari yang lalu. Aku tau ini karma karena
aku telah mengambil hak orang lain. Aku tidak bisa pergi ke luar negeri karena
ibu ku akan sendirian. Kamu tau kan, aku ini anak tunggal.”
“Aku
turut berduka cita, Nisa. Kamu harus kuat.”
“Terima
kasih. Terimalah ini, aku sudah mengurus semuanya. Seluruh biodata ku telah
diganti dengan biodata mu. Kamu tidak perlu tau bagaimana aku melakukan itu.
Kamu tinggal mengurus paspor untuk tinggal di London. Kamu akan berangkat
sehari setelah pengumuman kelulusan.”
Nisa
berdiri lalu memeluk Rani. Ungkapan maaf terus ia ucapkan dengan air mata yang
bergelinang. Rani rupanya telah memaafkan Nisa dan melupakan kejadian pahit
itu.
“Baiklah
Rani, saya pamit dulu. Saya mau mendaftar SNMPTN di UGM. Saya mohon doa mu
Ran,”
“Iya,
semoga kamu lulus masuk ke universitas impian kamu,”
“Amin.
Kamu tetap semangat belajar. Karena saingan kamu di Oxford nanti lebih berat.”
Nisa
pulang dengan hati lega. Ia merasa tenang karena telah mendapat maaf dari Rani.
Sementara Rani, ia masih tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Ia
akan menyembunyikan ini hingga pengumuman Ujian Nasional.
4
bulan berlalu, berbagai ujian telah dilewati oleh seluruh siswa kelas 12 di
SMAN 4. Tibalah hari yang mendebarkan, yaitu hari dimana akan diumumkan
kelulusan siswa-siswi kelas 12. Rasa was-was, takut, khawatir, bahkan penasaran
menyelimuti hati para siswa. Hingga hasil yang diharapkan pun terwujud. Siswa
SMAN 4 lulus 100%. Kegembiraan tak dapat terbendung hingga air mata turut
memeriahkan. Ucapan selamat, datang dari berbagai penjuru. Entah ucapan selamat
karena keberhasilan yang dicapai maupun ucapan selamat jalan dari kawan
seperjuangan. Dan dengan berat hati, Rani mengucapkan salam perpisahan kepada
tiga sahabatnya.
“Rani,
serius kamu? Kamu akan berangkat ke London dua hari lagi?”
“Iya,
aku akan sangat merindukan kalian,”
“Wah,
selamat Rani. Kami bangga punya teman seperti kamu. Akhirnya di antara kita ada
yang berhasil kuliah di luar negeri, kami ikut senang.”
Mereka
melompat kegirangan. Saat itu, mereka tak mampu mengingat bagaimana rasa sedih
itu.
Namun,
kesedihan menyambut di hari keberangkatan Rani. Seluruh keluarga dan teman
kelasnya ikut mengantar hingga ke bandara. Di sana juga terlihat beberapa guru,
salah satunya Ibu Mika. Semua mengucapkan selamat. Ada yang memberikan hadiah,
motivasi, dan kenang-kenangan. Namun, detik-detik terakhir Rani hendak
berangkat, seluruh air mata dari orang-orang yang mengantarnya tumpah. Mereka
sedih karena harus berpisah dengannya , tapi mereka senang karena Rani berhasil
menggapai mimpinya.
Di
dalam pesawat, Rani turut meneteskan air mata. Ia masih tak percaya dengan
semua yang ia alami. Ia bersama siswa-siswi yang lolos masuk Oxford Unversity
dari kotanya akan memulai hidup baru di tempat baru dengan suasana baru pula.
Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin berteriak “Oxford, I’m Coming!”
TAMAT
Comments
Post a Comment