APA TUJUAN KITA HIDUP? BUKAN APA TUJUAN HIDUP KITA
SET YOUR GOALS |
|
This is a short argument, it
doesn’t to make me look the best, but it just little think about my simple
question. “Is this world changes human, or human changes the world?”. Put your
comment, and let us discuss.
Dunia ini memang tercipta untuk mereka siapapun
tanpa terkecuali. Bukan hanya untuk mereka yang cantik, tampan, sehat, bugar, kaya, populer, ataupun bersinar. Sejatinya
hidup dan menjalani hidup di dunia ini tidak hanya dialami oleh mereka yang
tersebut di atas. Bahkan yang jelek, sakit, miskin, tersudut, ataupun terjebak
dalam kegelapan pun sedang menjalani sebuah kehidupan.
Semua orang mungkin berpikir, terlebih di era modern yang disesaki oleh
manusia-manusia modern saat ini, bahwa tujuan hidup di dunia adalah menjadi
sukses, terpandang, diakui, dikagumi, dikenal banyak orang, dan menjadi
kebutuhan untuk dikatakan exist atau menjadi bagian dari perubahan yang terjadi disetiap sendi kehidupan.
Seperti mereka yang menjadi cantik atau memang terlahir cantik, mereka yang
menjadi kaya atau memang terlahir kaya. Mereka mungkin berpikir apa yang
seharusnya dicapai telah tercapai, tinggal lah bagaimana mempertahankan
kecantikan dan kekayaan itu dengan memberi sedikit banyak bumbu-bumbu ekstra
dan trik-trik untuk mengovercome setiap problem yang muncul. Sebab disana
terdapat ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, jikalau segala hal yang dijaga itu
pergi meninggalkan dirinya. Sehingga menjadikannya jelek dan miskin kemudian tersudut
dan tidak diakui dunia. Apa memang
kehidupan berjalan seharusnya seperti itu? Apakah kehidupan yang sesungguhnya
hanyalah mencari keexistan di mata manusia? Atau kita ambil contoh yang lebih
kurang ekstrim. Seorang bernama Jeje adalah anak pemulung yang terlahir dalam
kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan. Namun Jeje adalah anak yang rajin
bekerja keras tanpa kenal lelah dan gemar menabung. Semua jerih payahnya itu membuahkan hasil yang memuaskan tepat
diusianya yang ke-22 tahun. Tercapailah segala apa yang ia damba-dambakan.
Rumah, pakaian yang bagus, makanan yang berlimpah, pendidikan, teman-teman baru dari kasta yang lebih
tinggi, dan pastinya
pujian-pujian yang akhirnya terucap setelah sekian lama terpojok oleh makian
dan hinaan. Pada akhirnya tampak, yang menjadi prioritas utama adalah bagaimana
mendapat pengakuan dan puji-pujian dari manusia yang pada hakikatnya sama dan
seimbang dengan dirinya. Meskipun memang tidak semua orang seperti itu, namun
tidak sedikit pula yang memunafikkan diri.
Lalu bagaimana dengan mereka yang
tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang saat ini
disesaki oleh manusia-manusia modernis. Pakaian dan tampilan yang glamour. Gaya
hidup atau lifestyle yang glamour. Secara kasat mata maupun tidak, zaman yang terjadi hari ini adalah zaman yang kejam melebihi kekejaman zaman saat
perang dunia yang mana banyak sekali orang menderita. Akan tetapi, penderitaan yang mereka alami di era perang dunia saat itu jelas dan tampak. Kondisi Negara dan
ketegangan yang terjadi tidak memungkinkan manusia pada zaman itu untuk hidup
sejahtera, terlebih berharap untuk mendapat pengakuan. Hidup mereka
terkungkung, gerak mereka terbatas oleh
pemisah yang nyata. Berbeda dengan manusia yang hidup di zaman super modern pada hari ini. Semua orang
dipaksakan harus menjadi orang berada, harus menjadi kaya. Itu adalah sebuah
tuntutan, sebuah keharusan. Bahkan tujuan menjadi kaya bukan sekedar untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, namun juga untuk dapat menyelaraskan diri dengan manusia
modernis disekitarnya. Memang tidak semua Negara saat ini menjadikan senjata
sebagai tameng untuk melindungi wilayah, rakyat, dan kekuasaannya. Namun penderitaan yang dialami
oleh mereka yang sulit berjalan beriringan dengan perkembangan zaman, lebih
miris dari kenyataan sebuah peperangan. Mungkin sebagian orang berpikir,
setidaknya mereka tidak hidup dalam ketegangan dan ketakutan. Mereka dapat
hidup dan bekerja tanpa ada yang melarang. Secara, sekarang ini zaman dimana setiap
orang bebas mengekspresikan dirinya. Yak, tepat sekali. Paham yang berasal dari
manusia yang hidup di belahan dunia bagian barat yaitu liberalisme, memang
telah merambat dan hampir menguasai seluruh dunia. Paham yang meracuni pikiran
manusia, bahwa apapun itu silahkan dilakukan sekehendak hati dan melupakan hukum,
norma, dan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan merambat pula paham tersebut pada
kebebasan untuk menutup mata pada kondisi disekitarnya. Yang kaya semakin
royal, yang miskin semakin terpuruk. Yang kaya sibuk setiap harinya untuk
bersaing mendapat predikat terkaya, sedang yang miskin terus bekerja keras
berusaha merubah status hidup namun keadaan tak pernah sedikitpun membaik.
Pandangan sinis dari setiap orang yang berlalu lalang dikejauhan mengenakan
pakaian super modis dan dandanan yang semakin menampakkan jarak pemisah
diantara dua golongan manusia tersebut. Si miskin dari sebrang jalan hanya
dapat memandang sembari berkhayal tinggi seakan ia dapat merasakan berada di
posisi itu selama masih hidup di dunia ini.
Padahal seharusnya, ia tak perlu
memeras otak sekuat tenaga memunculkan khayalan-khayalan tinggi yang mungkin
tak akan pernah terjadi. Ia cukup menikmati hidupnya, karena kehidupan bukan
hanya milik mereka yang kaya, cantik nan menawan. Segala kecantikan dan harta
benda yang mereka miliki, akan tiba waktunya untuk meninggalkan mereka. Mungkin
saat ini mereka terlihat sukses memiliki mobil sporti yang mahal, namun
akhirnya kendaraan terakhir yang mereka naiki hanyalah sebuah keranda. Jika semua
orang, baik si kaya, si miskin, si cantik, si tampan, maupun si buruk rupa
memiliki pemikiran yang sama dan berlomba-lomba menjadi orang tersukses di
dunia, lalu apa gunanya dijanjikannya surga dan neraka. Na’udzubillah, semoga
kita semua tersadar agar tidak menjadi terlena dengan kehidupan dunia. Seperti
sebuah meme yang pernah saya baca, “kita sibuk mikirin hidup enak, lupa mikirin
mati enak”. Astaghfirullah, semoga kita termasuk orang-orang yang selalu
memperbaiki diri.
21:29 WIT; February 18, 2016.
Comments
Post a Comment