Selamat Datang Jiwa yang Hijrah
Berulang kali setiap aku dengar kisah mereka yang
mualaf hati ini ikut lega, syukur, dan takjub. Berkumpul perasaan itu bak
mengaduk-aduk kalbu. Betapa benar bahwasannya Ia memberi petunjuk siapa yang Ia
kehendaki dan menyesatkan siapa yang Ia kehendaki. Adapun siapa yang Ia inginkan
diberi petunjuk maka sungguh tak seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan
siapa yang telah Ia kehendaki sesat maka, siapapun jua tiadalah mampu
menunjukinya. Betapa petunjuk itu sebuah karunia milik-Nya semata. Tak pernah
terpungkiri setiap firman-Nya, sebagaimana kurasa sekarang.
Para
mualaf dengan pernak-pernik kisah hidayah yang menyapa lembut pundak mereka
sambil membisikkan inayah nan menggetarkan, menyadarkan fitrah diri bahwa
hampir saja jalan yang merekatempuh berujung kekekalan jahanam yang menyala.
Cahaya menerobos relung terowongan mereka yang gelap nan rapat. Tadinya begitu
pengap dan penat kini berbalik penuh sinaran dan gairah kehidupan sejati yakni
ibadah semata. Terlebih mereka mualaf yang benar-benar kontras hijrahnya. Dari
seorang pendeta menjadi seorang ustadz, dari biarawati menjadi ustadzah. Yang
tadinya sesat dan menyesatkan kini berpindah menjadi penghfal, pemaham
Al-Qur’an sekaligus mengajarkan para muslimin (yang memang muslim sejak
lahirnya) tentang ayat-ayatNya. Betapa kita seharusnya merenung, bukan lantaran
merasa angkuh kemudian enggan belajar dari mereka yang mualaf, tetapi
disebabkan keimanan kita yang terus menerus diam di tempat. Berleha dengan
merasa cukup atas keimanan yang baru seujung kuku.
Sebenarnya
keislaman ini gara-gara siapa? Apakah karena ikut-ikutan mayoritas penduduk?
Atau karena orang tua kita muslim? Sehingga didapatilah sosok dengan panggilan
“orang Islam”. Lalu mengapakah kita berhenti mencari hidayah? Selesaikah kita
dengan urusan petunjuk ini? Mengapa kita terlihat sama bahkan dengan penganut
agama lainnya? Cukupkah dengan identitas Islam dalam Ktp kita? Kalau demikian
apa kelebihan kita dengan mereka yang mualaf?. Sejujurnya pertanyaan itu
kulempar untuk hatiku.
Baru saja
kubuka folder foto-foto semasa SMA setahun lalu, setelah sekian waktu tak ku
pandangi gambar diri di masa yang baru kemarin sebab kutinggal kuliah di
rantau. Ada rasa menyesal yang datang lagi, dicampur kenangan haru melihat
potret itu. Sungguh rasanya seperti sedanh menghizab diri sembari membuka
catatan amal yang mustahil terekayasa itu.
Gaya dan
poseku disitu mencerminkan diriku ditahun lalu yang penuh kebanggaan mengenakan
kerudung gaul, busana yang tidak sesuai syari’at lagi mencoreng syari’at, jeans
ketat, lengan tangan berkacak pinggang sampai tersingkap kain bajuku dan nampak
aurat. Nampak disitu kesibukanku mengisi waktu dengan pergi ke kamar-kamar
karaoke, nongkrong di taman sambil berikhtilat, penuh gelak tawa bersama
kawan-kawan perempuan juga yang bukan mahram. Walaupun semasa sekolah dulu aku
memang mengikuti organisasi Rohani Islam (ROHIS).
Jadi
setiap kali diriku berada di tengah adik-adik dan teman-teman ROHIS aku tak
ubahnya Akhwat yang tahu sedikit lebih paham ilmu Agamanya dibanding mereka. Tapi
saat aku keluar bermain bersama teman-teman sekelasku aku melebur dengan
mereka, hampir tak bisa dibedakan sosok diriku yang sering hadir dalam ta’lim
di majelis ROHIS dengan kawan –kawan yang jarang pergi ke masjid. Nampak sama
diriku dengan mereka yang suka bergosip, bercerita ketenaran artis yang lagi
naik daun, membahas lagu-lagu jahiliah, dan film-film penuh cerita maksiat. Ku
hafal betul cerita para artis barat itu, ku tahu benar bagaimana nada-nada dari
lagu lebay kaum kafir yang kalau di telisik syair-syairnya bisa membatalkan
syahadat diri pelan-pelan. Aah, parah nian diriku setahun yang lalu. Disebabkan
memang aku yang begitu gemar membaur dengan teman-teman, kurang selektif
memilih sahabat, dan menjadikan semua orang sebagai teman dekat. Walaupun aku
masih menyenangi mengaji, dan berukhuwah dengan aktivis ROHIS tetapi sisi
lainku sungguh perlu diinsyafi. Bahkan seharusnya aku curiga terhadap jiwaku
sendiri yang tak ubahnya seorang dengan dua muka. Astaghfirullahal azhiem, ampuni kemunafikan diri ini Yaa Robbi.
Sampai
tibalah aku menuntut ilmu di universitas kehidupan yang mengajariku tinggal
penuh kemandirian. Disana aku menuntut ilmu yang sejatinya. Sehingga tak lain
karena hidayah Allah ‘Jalla wa ‘ala aku
mulai mengerti tentang kedewasaan sebagai remaja. Dan tentang ujung dari tiap
detik yang dulu kubiarkan mengalir begitu saja penuh sia-sia. Bahwasannya juga
setiap ketidaktaatan kecil membuka pintu kemaksiatan yang lebih besar. Perlahan
aku mulai belajar tentang iman yang sesungguhnya hingga ku pahami diriku yang
tak boleh diam di tempat. Aku harus mulai terbang dengan dua sayap yang
seimbang, sayap kanan sebuah harapan (roja’) dan sayap kiri sebagai rasa takut
(khouf). Allah Subhanahu Wa Ta’Ala
mempertemukan aku dengan sahabat yang menyayangiku dalam iman sebagai ganti
yang lebih baik atas kepergian kawan-kawan mainku dahulu yang perlahan
mengasingkanku. Sahabat baruku menjadikanku saudara padahal tak terikat darah
dan madzhab pada diri kami. Lantaran imanlah pertemuan yang singkat tak menjadi
halangan bagi hati untuk saling sepakat. Berbagi dan memberi karena Allah
semata.
Kini aku
dapati diriku yang akrab dengan para mukmin yang shalih dan shalihah. Tak ada
lagi perbincangan sia-sia tentang artis barat, kagu-lagu sesat, dan tontonan
kemaksiatan. Tetapi ku isi waktu senggang itu untuk belajar dan mengaji. Aku
tak lagi pakai kerudung gaul, tapi kututup auratku dengan jilbab syar’i meski
terkadang tampak asing. Aku mulai mendalami lagi petunjuk itu yang dulu hanya
sekedar kubaca sebagai penggugur kewajiban. Aku ingin hijrah. Pindah dari rasa
nyaman atas ketidaktaatan diri. Pindah, karena petunjuk itu adalah kehendak-Nya
untuk Ia berikan padaku ataupun untuk Ia cabut dariku. Maka dari itu aku tak
boleh menunggunya, aku harus terus mencarinya. Jangan sampai terjadi
keengganan-Nya menunjuki jalan padaku, sebab tak mungkin ada yang mampu
memberiku petunjuk selain Ia.
Semoga Allah Jalla Jallahu memberi karunia itu kepada
kawan-kawanku yang masih membiarkan dirinya dalam ketidakmanfaatan, dan
menganugrahi aku keistiqomahan dan bertambahnya ketaqwaan. Aamiin Yaa
Robbal’alamiin
Disadur dari:
Elfata Magazine
Comments
Post a Comment