Serunya Menjadi Peserta Program Literasi UNICEF


Assalamu'alaikum.. 
Tulisan ini dibuat dua bulan setelah saya wisuda, tapi baru saya posting setelah 14 bulan wisuda. Hahaa, keep reading saja yaa..

Hai evribadeh. Bagaimana kabar kalian semua? Semoga baik-baik saja ya. Maaf ya blog ini sangat usang. Sekian lama kubiarkan dan tak terurus. Baru kelar dari masa-masa perjuangan semester akhir di kampus. Tapi sebenarnya sih, ini sudah lewat dua bulan dari seremonial pemindahan tali toga (baca: wisuda). Haha..

Bedewe, sesungguhnya entah kenapa perasaan ini muncul.  Ah, salah. Bukan perasaan. Lebih tepatnya passion saya di dunia tulis menulis mulai berkurang kadarnya sedikit demi sedikit :-( . Padahal.. Huh, sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Yang penting sekarang saya sedang mencoba mendirikan kembali reruntuhan dari hobby menulis itu. Haha..

Oke, di postingan kali ini saya tidak memuat tulisan yang terlalu banyak menguras otak saya untuk berimajinasi, tapi lebih kepada menguras otak untuk mengingat kembali kejadian yang telah berlalu. Karena sesungguhnya belum bisa move on. Jiah.

Jadi, pada saat saya dinyatakan resmi menjadi alumni kampus saya, saya langsung bergerak cepat mencari peluang-peluang untuk menjadi worker. Karena siapa sih yang mau masuk dalam daftar pengangguran. Faktanya yaa emang gitu, sarjana tidak sedikit pula yang menganggur. Banyak lowongan pekerjaan yang saya baca via facebook, tapi kebanyakan semua jauh dari target pekerjaan yang harusnya dilakoni lulusan sarjana pendidikan. Pengennya sih yang sinkron, tapi lebih banyak pengennya yang gak sinkron juga sih. Biar pengalaman tambah banyak, xixi.. Tapi kemudian ada satu lowongan yang saya temukan di facebook yang kurang lebih sinkron banyak lah. Yaitu menjadi pelatih guru SD kelas awal (1-3) dan pendamping guru PAUD di daerah pedalaman Papua. Awalnya sudah excited banget, tapi ada salah satu persyaratannya yang membuat seluruh perasaan excited itu ambruk seketika. Calon pelamar harus memiliki pengalaman mengajar kurang lebih 3 TAHUN. Dan itu adalah kualifikasi yang sangat tidak mungkin saya miliki. Pernah sih ngajar, tapi paling lama itu 2 bulan pas PPL dulu, haha oke. Dan otomatis perasaan excited itu terkubur hingga suatu hari, keajaiban datang.

Pada hari itu, seorang teman yang berhati malaikat, panggil saja Munaroh, maaf ya namanya disensor demi menghindari kemungkinan tawaran endorsement. Haha, *garing*, mengajak saya untuk mendaftarkan diri pada lowongan tersebut. Kata si Munaroh ini, tenggat waktu pengumpulan berkas diperpanjang. Usut punya usut katanya sih, yang daftar masih sedikit. Entah benar apa hoax. Dan ada satu kalimat Munaroh yang kemudian menghipnotis saya untuk menggali kembali perasaan excited dulu yang telah terkubur.  Dia bilang gini, "Eka, pakai jurus Bismillah saja". Hmm,, kalimat pendek tapi sarat makna yang kurang lebih intinya itu TawakkalSo, kalian paham kan kenapa saya sebut Munaroh ini berhati malaikat. :-) Dan, setelah itu saya mengurus semua persyaratan administrasi yang dibutuhkan untuk menjadi calon pelatih guru SD kelas awal (jadi kita cuma boleh pilih satu saja ya, mau jadi pelatih atau pendamping). Persyaratannya kurang lebih sama saja dengan persyaratan umum kalau mau lamar kerja, tidak menguras banyak tenaga dan biaya untuk mengumpulkan berkas-berkas yang diminta. Dan meskipun tau tenggat waktunya diperpanjang, tetap saja kami mendaftar di hari terakhir dari paling terakhir dan menjadi peserta dengan nomor urut 90-an. Di suatu hari yang hujan, basah, sepi, sore, pokoknya perasaan campur aduk. Diterima apa tidak, yang penting sudah usaha. Itu saja deh, optimisnya. Pada saat mengantar berkas, kami diberitahu bahwa akan diinfokan via Whatsapp kalau lolos ke seleksi berikutnya sepekan yang akan datang. Dan, kami pulang dengan perasaan bahagia meski menjadi pendaftar paling belakang. Haha

Oke, jadi pada saat itu saya mendaftarkan diri bersama dua orang teman sekelas pas kuliah. Yang pertama ya si Munaroh itu, dan yang satunya lagi Rahmah -kedua namanya disensor sesuai dengan alasan di atas ya :-D, hehe. Dan, FYI yah biar kalian gak pada bingung sebenarnya ini program apa sih. Jadi, ini adalah program literasi milik UNICEF (cari sendiri kepanjangannya di Google yah, hehe. Taunya sih ini salah satu organisasi milik United Nations alias PBB yang kalau gak salah fokusnya ke children di negara berkembang gitu). Dan, si UNICEF ini bekerja sama atau bermitra dengan salah satu kampus swasta di Kota Sorong. Tujuan dari program ini yaitu menggalakkan literasi di Papua yang notabenenya masih sangat rendah banget minat baca tulisnya #miris. Sasarannya adalah anak usia PAUD dan SD kelas 1 - 3. Jadi untuk yang PAUD ini disebut pendamping (mentor) dan untuk tingkat SD nya disebut Pelatih (trainer). Tapi jangan salah paham dulu. Tugas dari para pendamping dan pelatih ini bukan menjadi pengajar yang mengabdi di pedalaman ya, seperti SM-3T atau Indonesai Mengajar gitu.  Tapi membimbing, mendampingi, dan melatih guru dan kepala sekolah di lokasi penempatan. Jadi pendamping dan pelatih ini tugasnya membekali guru-guru dan kepala sekolah di daerah pedalaman, transfer ilmunya itu ke guru dan kepala sekolah, bukan ke murid. Sehingga, manfaatnya itu akan terus terasa walaupun para pelatih dan pendamping ini sudah meninggalkan daerah tugasnya. Tapi bukan berarti mereka tidak berinteraksi dengan para murid. Tetap, bahkan lebih intens karena mereka bisa melakukan kegiatan lain selain belajar mengajar. Seperti mengadakan lomba, kegiatan, les private, yang tentunya melibatkan semua komponen sekolah.

Oke segitu kiranya gambaran tentang program yang sangat banyak manfaatnya ini. Lanjut ke perjalanan saya bersama kedua teman saya, Munaroh dan Rahmah. Setelah menanti sekian hari, kami bertiga pun dihubungi oleh panitia untuk mengikuti tahap selanjutnya. Tahu gak, gimana perasaan kami. Seperti ketiban bulan, karena benar-benar tak ada satupun yang berekspektasi bahwa kami akan lanjut.

Kami kemudian mengikuti rentetan tes yang memakan waktu selama satu pekan. Tes pertama yaitu tes kreplin, semua peserta dikumpul
kan dalam satu ruangan dan mengerjakan tes menghitung yang cukup bikin sakit kepala di tengah siang hari bolong. Haha.. Tes kedua mirip-mirip tes potensi dasar, layaknya anak SD mengerjakan soal ujian. Setelah itu, kami disuruh pulang dan menunggu info kelulusan ke tes berikut. Dan alhamdulillah, semua peserta lolos begitu saja.

Ekspektasi saya terhadap program ini, mungkin ini sejenis dengan program-program nasional yang ketat seleksinya, penilaian menggunakan sistem online, tapi entahlah. Karena segala tes di hari pertama dan berlanjut di hari kedua meloloskan semua peserta yang berjumlah hampir 100 orang. Dan ketegangan sesungguhnya terjadi di hari ketiga.

Tes hari kedua adalah tes wawancara yang berlangsung dari pagi hingga sore. Ini benar-benar pengalaman pertama buat saya, buat Munaroh dan Rahmah juga mungkin. Terlebih, kami bertiga masuk ruangan
wawancara disaat-saat terakhir, akibat menjadi pendaftar paling belakang. Disini saya hanya akan menceritakan pengalaman saya saat diwawancara oleh dua pewawancara. Tentunya dengan segala macam persiapan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan. Saat masuk ruangan, disana hanya ada saya dan mereka berdua. Beberapa pertanyaan akademik seputar guru dan tugasnya ditanyakan, lalu beralih ke pengalaman pribadi dalam dunia belajar mengajar. Semuanya berjalan tidak setegang yang saya bayangkan ternyata, layaknya kami sedang bertukar informasi. Karena beberapa kali saya balik menanyai mereka.

Setelah itu, lanjut ke tes di hari ketiga yaitu group discussion dan microteaching. Kelompok untuk tes
ini sudah ditentukan kemarin, jadi kami tinggal datang lalu masuk sesuai nomor urut kelompok. Dan guys, kalian tau apa yang terjadi?? Saya yang notabenenya nebeng pada Munaroh, otomatis kita datangnya bersamaan. Dan dihari terakhir tes yang penting itu, kami berdua beserta Rahmah dipertemukan dalam satu grup pertama, padahal saat pembagian grup kami tidak bersekongkol untuk bisa segrup, loh. Sepertinya kami memang ditakdirkan untuk selalu bersama, xixi. Di hari itu saya dan Munaroh datang terlambat. Grup diskusi kami telah mulai sejak 15 menit yang lalu. Kami dari luar ruangan hanya bisa mengintip-intip dari jendela, menerka-nerka apa yang terjadi disana, apa yang mereka lakukan disana. Kami benar-benar tak bisa masuk, karena di dalam sana ada dua orang penilai yang salah satunya bisa dibilang cukup menakutkan :-D Beberapa kali kami bermain petak umpet bersama si penilai, hingga waktu diskusi mereka hampir selesai. Namun, tiba-tiba si penilai yang cukup menakutkan itu keluar ruangan. Melewati kami yang duduk memelas mengharap belas kasih di depan pintu ruangan tersebut. Ia menuju office, lalu kembali. Tepat sebelum ia melewati pintu ruangan, secara mengejutkan si Munaroh mencegatnya. Saya sendiri bingung dan merasa semacam berada di awkward moment, tapi seandainya moment itu tak pernah terjadi, pasti kami sudah didiskualifikasi hari itu. Dengan memasang wajah plus suara memelas, Si Munaroh mengeluarkan jurus tak terduganya. "Pak..., maaf kita terlambat..." tentunya setelah itu wajahnya tersipu malu. Lalu terjadilah sedikit tanya jawab diantara mereka berdua, dan si Bapak Dean (mohon maaf ini hanya nama samaran demi menjaga privasi beliau) memberi kami akses untuk ikut diskusi pada grup berikut, tapi kami berdua harus berpisah. Si Munaroh ikut diskusi grup 2 dan saya ikut ke grup 3. Jazakumullahu khoiron, Munaroh, dan Pak Dean. Saya pribadi tak menyangka akan diberi kesempatan seperti itu, karena setelah beberapa kali bertemu di Bapak, sudah tergambar jelas beliau orang yang tegas dan sangat disiplin.

Sesi diskusi berlangsung cukup menegangkan, topik yang dibahas masih seputaran belajar mengajar di daerah terpencil. Kebetulan saya bertemu lagi dengan dua penilai yang kemarin juga mewawancarai saya. Awalnya saya benar-benar buntu, entah bagaimana caranya mengungkapkan pendapat. Tapi hati saya tak tenang. Kalau saya berbicara,  ada kemungkinan saya akan lolos, tapi jika tidak, maka otomatis saya pasti tidak lolos. Akhirnya setelah merangkai kata-kata yang akan saya uangkapkan, dan mengumpulkan keberanian yang cukup menguras energi, saya pun angkat tangan dan menyampaikan pendapat. Sejujurnya saya sendiri bingung apa yang saya bicarakan, yang saya sadar bahwa suara saya terdengar bergetar seperti orang mau nangis, hahaaa. Ah gak penting, saat itu yang saya pikirkan, seenggaknya saya sudah berbicara. Meskipun cuma sekali dan sangat tidak berwibawa. Hahaaa


*be continue to part 2

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Kaidah Bahasa Indonesia

Kurangnya Pendidikan Moral di Sekolah

Lack Of Moral Education In School